“Bang! Bang! Stop bentar Bang!” kataku pada Abang Gojek yang kunaiki.
Aku turun nyaris melompat dari motor dan segera berlari beberapa meter di belakang motor. Kupungut dompet dari jalan yang terkena cipratan lumpur beceknya jalanan.
Sesampainya di rumah kulihat-lihat isi dompet yang baru kutemukan tadi.
“Dompet siapa itu, Wan?”, tanya ibuku dari sofa.
“Nggak tahu, Bu. Nemu tadi di jalan. Ada uangnya banyak bener nih”, jawabku.
“Kembalikan pada yang punya ya, Nak. Insya Allah itu lebih baik bagimu. Semoga Allah SWT membalas amal perbuatanmu”, nasihat Ibuku seperti biasa.
“Insya Allah, Bu. Ini lagi cari informasi dari dalam dompet ini. Semoga lengkap surat-suratnya.”
Keesokan harinya aku pamit pada Ibu untuk mengembalikan dompet yang jatuh kemarin.
“Assalamu ‘alaikum!”.
“Wa ‘alaikum salam!”
Seorang gadis cantik keluar dan membuka pintu pagar untukku.
“Mau mencari siapa, Mas?”, tanyanya lembut. Matanya begitu indah. Gelagapan aku tak menyangka ada makhluk secantik ini. Semoga bukan siluman, Ya Allah.
“Ee.. maaf, Mbak. Apa ini rumah Pak Suryomenggolo Jalmowono?”, tanyaku salah tingkah.
“Oh benar, Mas.. ini memang rumah beliau, Ayah saya. Ada yang bisa dibantu?”, tanyanya penuh keingintahuan.
“Saya menemukan dompet Bapak yang terjatuh”.
“Oh ya Allah.. benar.. kemarin Bapak kehilangan dompetnya. Alhamdulillah ketemu. Mari masuk dulu Mas. Bapak kebetulan ada di rumah. Ayo masuk dulu, Mas!” katanya bersemangat penuh kegembiraan.
Sejak saat itu aku dekat dengan Fiona, anak Pak Suryo. Benar-benar rezeki anak sholeh. Nemu dompet dapat pacar. Alhamdulillah, rejeki memang nggak ke mana.
“Say, mau nggak kukenalkan dengan Ibuku?”, tanyaku.
“Mau dong, Mas. Aku justru khawatir kau tak mau mengenalkanku pada orangtuamu”, jawabnya manja. Jantungku empot-empotan.
“Bu, ini Fiona. Fiona, ini ibuku.”
Keduanya bersalaman lalu mereka berdua mengobrol di ruang tamu. Begitu akrab. Hatiku berwarna-warni.
“Tante, ini foto kami sekeluarga”, kata Fiona sambil menunjukkan foto keluarganya dari iPhonenya.
“Masya Allah! Fiona… ayahmu…. adalah ayah Iwan juga…”, teriaknya tergagap.
Cerita yang mengandung tepat 300 kata di atas ditulis sebagai partisipasi Flash Fiction di link ini. Tulisan ini adalah tulisan perdana, terinspirasi dari rajinnya Om Jampang mengikuti gaya penulisan jaman ini yang serba cepat, serba ringkas, dan serba unik. Semoga istiqomah 🙂
Tinggalkan komentar