Thank God I’m Still Blogging Today Hari ini aku membaca blog milik Morn1ngDew (Dew, aku dapet link ke blogmu yang so blurted dari temen sekelasku di uni, FXRBDS namanya) tentang meninggalnya Joanne, mantan bosnya yang meninggal karena kanker esofagus Februari lalu. Dia sangat sedih karena Joanne dulu begitu dekat dengannya, bahkan sudah seperti orang tua sendiri. Hal yang paling menyediahkan buat Dew adalah beberapa waktu sebelum kabar duka itu datang, ia tidak sempat menelpon atau mengunjunginya. Hal ini membuatnya sedih tak terkira. Beberapa hari sebelumnya, aku dan istriku memutar film DVD berjudul If Only, yang diperankan oleh Jennifer Love Hewitt dan Paul Nichols. (Spoiler Warning buat yang belum dan ingin menonton filmnya). Peter (Nichols), seorang usahawan Inggris, berpacaran dengan musikus Amerika yang bernama Emily (Hewitt). Suatu pagi, Peter dan Emily pergi untuk memulai aktivitas rutin mereka masing-masing. Pagi itu Peter harus menghadiri rapat super penting yang cukup menentukan karirnya. Di tengah-tengah rapat yang sangat serius, tiba-tiba Emily mengetuk pintu rapat dan memecahkan keheningan. Dia bermaksud membawa map biru milik kekasihnya yang dia pikir tertinggal. Ternyata Peter sudah membawa map yang benar dan Emily membawa map biru yang tidak diperlukan sama sekali. Dengan cukup malu ia meminta maaf pada seluruh peserta rapat, yang membuat Peter teramat malu dan membawa dampak yang buruk buatnya. Sorenya, mereka bertemu di sebuah restoran (definitely not Warteg, padahal warteg terkenal banget loh), dan pertengkaran terjadi. Emily merasa bahwa hubungan mereka selama ini ternyata kalo dipikir-pikir “Peter Banget”. Komunikasi selalu bermuara pada kebutuhan dan ego Peter. Dari sangat sibuk bekerja, lupa hal-hal penting tentang mereka berdua, belum mau diajak bertemu dengan keluarga Emily, dan seterusnya. Intinya Emily merasa dia bukanlah subyek pelaku dalam eSPeOKa, hanyalah obyek, pelengkap penderita. Emily menghambur keluar dengan isakan setelah mengatakan bahwa segalanya telah berakhir. Dia menghentikan sebuah taksi dengan dikejar Peter dibelakangnya. Pintu sempat terbuka cukup lama, dan beberapa saat kemudian supir taksi bertanya apakah Peter akan ikut atau tidak. Peter bergeming penuh keraguan, dan Emily menutup pintu dengan keras, dan melaju di malam yang kelabu itu. Saat itu hampir pukul 11 malam. Beberapa ratus meter dari tempat Peter berdiri, taksi yang ditumpangi Emily ditabrak sebuah mobil dari arah samping. Peter segera berlari sambil berteriak histeris mengejar kekasihnya yang malang. Di ruang gawat darurat, Emily menghembuskan nafasnya yang terakhir sambil memandang ke arah Peter yang diliputi kesedihan teramat sangat. Emily meninggalkan dunia ini dalam perasaan tidak dicintai dan dinomor duakan oleh orang yang sangat ia cintai. Di apartemennya, Peter memeluk buku harian kekasihnya sambil berlinang air mata, penuh sesal tak terkira di atas tempat tidurnya. Beberapa jam yang lalu kekasihnya masih bersamanya di tempat yang sama. Kini ia telah tiada, membiarkannya sendiri dipeluk sesal tiada henti. Keesokan paginya, Peter terbangun dan mendengar suara seorang wanita, yang tidak lain adalah kekasihnya sendiri!! Peter mendapati bahwa ia seperti bermimpi, dan merasa mendapatkan kesempatan kedua. Ia mendapati bahwa setiap menitnya adalah De Ja Vu. Ia merasa telah melalui hari itu segalanya hampir mirip, tidak persis memang, seperti apa yang telah ia alami dalam mimpinya. Untuk mencegah hal yang ditakutinya, ia mencoba mengubah kejadian kemarin. Seharian, ia mengistimewakan Emily dan membuatnya bahagia menjadi seorang wanita yang dicintai dan tidak lagi menjadi obyek pelengkap penderita. Ia mengajak Emily ke tempat Peter menghabiskan masa mudanya di sebuah pengunungan yang indah. Setelah itu ke menara Eiffel dan menonton pertunjukan seni Emily sambil menyiapkan kejutan luar biasa untuknya, Dan ketika malam hampir berakhir, ketika hujan turun membasahi bumi, di depan restauran yang sama, Emily merasa menjadi wanita yang paling dicintai di muka bumi ini. Ketika taksi yang sama datang menjemputnya, dan sopir taksi menanyakan apakah Peter mau masuk, Peter menjawab dengan bangga, “Tentu saja”. Jam menunjukkan pukul 11.00 tepat, malaikat pencabut nyawa telah bersiap mengambil nyawa seorang anak manusia. Segalanya berjalan dengan cepat, suara tumbukan keras, pecahan kaca bertaburan, derit ban menjerit, ambulans meraung, ruang gawat darurat terkesiap, tangis menenggelamkan manusia dalam kepiluan. 24 jam lalu sesuatu yang hampir mirip terjadi. Yang berbeda adalah kematian kemarin penuh sesal dan duka, sedang kini kematian dalam cinta kasih yang tak dapat dilupakan seumur hidup. Sahabat, kita hidup di atas conveyor belt, ban berjalan yang digunakan untuk membawa suatu barang ke tempat lainnya. Kita adalah barangnya, dan sang waktu adalah ban berjalan itu. Pada akhirnya, jika giliran kita tiba, kita akan sampai pada ujung ban berjalan itu, dan berpindah ke tempat lain, untuk meneruskan perjalanan kita. Apakah masuk ke ban berjalan lainnya, atau sampai di gudang, selamanya. Siapakah yang akan sampai pada ujung ban itu, kitakah ataukah seseorang yang kita cintai? Orang tua kita? Istri kita? Anak kita? Sahabat kita? Apakah kita telah cukup memberikan cinta kepada mereka? Apakah kita justru membekaskan keburukan akhlak kita dalam benak mereka? Well, sesungguhnya aku sendiri ngeri membayangkan salah satu skenario di atas. Jika aku yang dipanggil dulu oleh Tuhan, bagaimana keluargaku? Siapa yang bertanggung-jawab mencari nafkah? Siapa yang menopang hati dan cinta istriku? Bagaimana sedih Ibuku yang mengandungku sembilan bulan, dan aku belum sempat membahagiakan dengan sebenar-benarnya? Ah, sudahlah. Kutitipkan saja mereka pada Tuhan, karena Ialah yang akan memberikan rezeki untuk mereka. Saat ini yang kupikirkan adalah membekali mereka untuk cinta dan mengenal sang Khaliq, Pemegang Nyawa dan Penguasa Segala Sesuatu. Jika salah satu orang yang kucintai tiada, aku berharap aku kuat menahan derita dan duka yang teramat sangat. Sungguh, aku benar-benar nggak sanggup membayangkannya. Belum bila teringat dosa yang menumpuk (bagai debu yang menempel seiring berjalannya ban di pabrik kehidupan ini). Thank God, I’m still Blogging Today. If Tomorrow Never Comes If tomorrow never comes ‘Cause I’ve lost loved ones in my life If tomorrow never comes So tell that someone that you love |