Ketika orang-orang pada ribut masalah SJW terkait dengan Captain Marvel, ya saya tetap mencoba netral dengan menilai film ini setelah menontonnya. Sebagai pencinta karya seni, salah satunya film, saya akan menilai film ini setelah menonton dan memahami ceritanya. Kalau memang ada propaganda feminisme dan LGBT, akan saya sampaikan juga apakah porsinya mengganggu atau tidak.

Film Captain Marvel yang saat tulisan ini ditulis menguasai bioskop bersama film Dilan 1991, secara singkat, cukup layak tonton. Masih enak dinikmati meski latar belakangnya sekitar tahun 1990-an, zaman Google belum lahir dan orang mencari di Internet menggunakan situs Altavista. Saya sendiri termasuk generasi yang dulu selalu menggunakan Altavista untuk mencari di dunia maya.

Film ini menceritakan bagaimana Carol Danvers menjadi Captain Marvel, salah satu tokoh superheroine terkuat di dunia. Pada awalnya, kita disuguhi seorang prajurit alien bangsa Kree dari Planet Hala bernama Vers sering mendapatkan mimpi tentang wanita tua. Dalam sebuah misinya, Vers tertangkap oleh bangsa Skrull dan otaknya diobok-obok untuk mencari sebuah informasi.

Vers berhasil kabur dan mendarat di bumi untuk kemudian bertemu tanpa sengaja dengan Nick Fury. Kisah selanjutnya adalah perjuangan Vers untuk mencari jati dirinya yang dibantu Nick Fury, apakah ia berasal dari bumi atau bukan.

Film ini tampak membawa pesan buat kaum feminis, bahwa wanita harus bangkit dan tidak boleh lemah meski dirundung oleh kaum lelaki. Menurut saya tidak ada salahnya dengan hal ini. Wanita bisa kok berjuang untuk meningkatkan martabatnya dia sendiri, tanpa menghina dan menginjak kaum lelaki. Saling menghargai dan bekerja sama tanpa melupakan kodratnya sebagai wanita adalah sah-sah saja.
Dari sisi visual FX, film ini jelas top markotop. Artinya sesuai standar film zaman sekarang yang melibatkan banyak perusahaan visual FX. Hasilnya sudah jelas ciamik. Adegan laga di kereta juga sangat mengesankan.
Dari sisi akting, Bree Larson cukup baik memerankan karakter Carol Danvers meski tidak sampai bisa disebut istimewa. Peran Judd Law sebagai bangsa Kree juga cukup memuaskan rasa rindu dari perannya akhir-akhir ini yang begitu-begitu saja. Samuel L. Jackson juga cukup segar memerankan Nick Fury. Dia pernah menangani ular di film lain, kini saksikan bagaimana Jackson mengatasi seekor kucing. Tokoh Agent Coulson juga digambarkan dengan cukup baik di film ini.

Film ini banyak menyelipkan unsur humor sehingga tidak kering dari awal sampai akhir. Banyaknya nostalgia terhadap teknologi tahun 1990-an juga akan menarik para penonton dari generasi pengguna Internet pertama kali.
Namun demikian, satu hal yang mengganggu adalah justru dari kehebatan Captain Marvel itu sendiri. Ia begitu perkasa layaknya Superman dari DC World. Melihat seorang jagoan yang tanpa cacat dan kelemahan sepertinya tidak memberikan sebuah tantangan yang menarik karena terlalu powerful.
Film ini jelas digunakan oleh Disney dan Marvel untuk memperkenalkan tokoh Captain Marvel sebelum ia menjadi solusi di End Game yang akan tayang bulan depan.
Skor saya untuk film ini adalah 8/10. Menghibur kok. Dan jangan buru-buru pulang karena ada dua tambahan ekstra adegan setelah film berakhir. Yang pertama super penting, yang paling akhir biasa saja (opsional untuk ditinggal kalau sudah kebelet pipis).
Saya nunggu ampe kucingnya muntah.
Hahaha
SukaSuka
Sama hahahaha…
SukaSuka