Perempuan Berkalung Sorban (2009)


Setelah menonton Ayat-ayat Cinta (reviewku di sini) dan Get Married (reviewnya di sini), saya kembali penasaran dengan film Hanung yang baru, Perempuan Berkalung Sorban. Film yang katanya digadang-gadang menyuarakan kaum perempuan ini ternyata menuai kontroversi ketika ditayangkan di bioskop. saya akui, idenya mungkin menarik, ingin membawa suara Kartini ke jaman modern saat ini. Bahwa perempuan tidak boleh berpuas diri berpangku tangan, dan menjadi korban kemajuan zaman. Setuju sampai di sini. Tapi cara penyampaian Hanung untuk tujuan mulia ini, buatku, sekali lagi buatku, kandas di tengah jalan. Saya tidak berani memfitnah beliau ingin menjelekkan agamanya sendiri. Namun bagi saya, film fiksi ini, yang meskipun mungkin terjadi di tengah masyarakat Indonesia – meski sangat kecil kemungkinannya, lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Sekali lagi, ini pendapat saya pribadi. Kalau Anda melihatnya film ini bagus demi kemajuan kaum wanita, ya silakan. Tapi bagi saya, istri saya, dan pembantu saya, kami terkejut melihat film yang dapat menimbulkan pemahaman yang salah terhadap Islam bagi kalangan yang masih awam dalam mengenal Islam. Tidak seperti beberapa rekan yang menghujat film ini tanpa menontonnya, saya ingin bersikap adil terhadap Hanung. (Saya teringat ayat dalam surat Al Maidah yang berbunyi : Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan). Jika ingin berkomentar, ya filmnya harus ditonton, supaya tahu bagian mana saja yang dapat disalahtafsirkan oleh mereka yang akidahnya masih labil atau orang di luar Islam, yang sudah terlanjur mendapat stigma Islam adalah agama yang mendukung laki-laki, tukang kawin dan teroris. Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (Meutia Hatta), membela film ini dengan berdalih film ini memberikan contoh ketika Islam tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Sebagaimana yang saya kutip dari Detik ia berujar, “Ada yang keliru dalam memahami ajaran Islam, nilai-nilai Islam. Kalau saya menganggap ajaran saya mengajarkan kedamaian, kebaikan, keharmonisan ya itulah yang seharusnya. Dan film itu tidak menggambarkan apa yang diajarkan oleh agama Islam,” tandas putri proklamator Bung Hatta ini. Yah, sah-sah saja apa yang dikemukakan mentri Pemberdayaan Perempuan yang tidak berjilbab ini.

Ok, saya akan membahas adegan-adegan yang ada di film ini, dan bagaimana dongkolnya kami ketika menontonnya. Jika Anda berminat menontonnya dan tidak ingin mengetahui detail sebelum menontonnya, saya mengingatkan sebaiknya lanjutkan membaca tulisan saya setelah menontonnya. You’ve been warned.

Adegan konflik pertama yang melibatkan keluarga Annisa dibuka di meja makan. Annisa memprotes mengapa ia dilarang belajar naik kuda, sementara kedua kakak lelakinya diperbolehkan. Kakaknya mengatakan Annisa tidak pantas. Ora ilok kata orang Jawa.

Annisa: “Terus kenapa? Aisyah istri nabi, puteri Budur ….. mereka perempuan.. Mereka mengendarai kuda dan memimpin pasukan.”

Kakak Annisa: “Berarti mereka juga nggak pantes”.

Ayah Annisa: “Mereka bukan anak Abi. Kamu yang anaknya Abi. Anaknya Kyai.”

Annisa: “Terus kenapa kalau anak Kyai?”

Ayah Annisa: (menggebrak meja dengan keras)

Komentar: Mungkin saja ada Kyai kasar dan sombongnya tidak ketulungan seperti ini. Namanya juga manusia. Tapi kalau dalam media Film, audio visual, adegan ini bisa disalahtafsirkan. Banyak orang yang pendidikannya rendah, akan menganggap inilah ajaran Islam yang puritan. Wah ternyata Kyai itu bisa kasar sama anak dan istrinya. Bahkan lebih sombong ketimbang Rasul. Sekali lagi, film sebagai media audiovisual, yang melambangkan kekuatan teknologi dalam mengejawantahkan sastra maupun sekedar potret kehidupan, memiliki kemampuan untuk disalahartikan. Apalagi kalau tidak ada penjelasan kemudian di akhir film yang dapat menyimpulkan kalau si Kyai itu tidak benar. Atau ada karakter lain yang mengkoreksi dan memberikan argumen yang wajar. Wanita memang tampak tidak feminin kalau menunggang kuda. Tetapi menurutku, pada keadaan tertentu, wanita bisa membela dirinya dalam peperangan. Dan itu bisa diwakili dengan menunggang kuda, mengendarai sepeda motor, atau bahkan mobil. Jadi melarang menunggang kuda bagi wanita itu masih tidak masuk akal. Kalau Hanung ingin menunjukkan contoh yang salah, sekali lagi, tanpa adegan yang mengkoreksinya, akan dianggap itulah yang benar.

Adegan berikutnya lebih menggelikan lagi. Annisa sedang ada di kelas, dan menjadi salah satu kandidat dari dua anak yang akan menjadi ketua kelas. Si guru melakukan voting, yang terbanyak akan jadi ketua kelasnya. Annisa melawan Farid. Diluar dugaan, Annisa mendapatkan suara terbanyak, 12 suara, Farid hanya 11 suara. Sang Guru dengan entengnya berujar:
“Alhamdulillah, sudah selesai pemilihannya. Sekarang, karena perempuan dalam Islam tidak boleh jadi pimpinan, maka tanpa mengurangi nilai-nilai demokrasi Pancasila, maka diputuskan yang menjadi ketua kelas kalian adalah Farid!”.

Komentar: Kalau memang mau mengatakan hal ini, terus kenapa ada kandidat perempuan in the first place? Kenapa harus menyakiti hati Annisa dengan menjadikannya kandidat, toh kalau dia menang juga akan dianulir dan tidak diakui sebagai pemimpin. Kalau memang wanita tidak layak menjadi pemimpin (jika masih ada laki-laki yang sanggup), kenapa Annisa dipilih jadi kandidat? Sangat tidak masuk akal. Blunder sih saya bilang untuk adegan ini.

Coba lihat lagi ucapan Annisa ketika mencuci pakaian : “Islam tidak adil buat perempuan”. Kalimat ini diucapkan oleh pemeran utama wanita, yang selalu mendapat perlakuan diskriminatif dari awal film. Kalimat ini akan mudah diterima dan disetujui oleh penonton awam.

Berikutnya pernikahan dijodohkan, aduh jaman sekarang sudah tidak zaman sama sekali. Coba dihitung berapa persen jumlah pesantren yang anak kyainya nikahnya dijodohkan. Saya yakin jaman modern seperti ini tidak banyak yang masih membuat anaknya seperti Siti Nurbaya.

Bersambung… (karena sudah malam, review saya hentikan dulu, nanti disambung lagi. Komentar akan aku buka kalau sudah selesai. Kalau mau ngomong sesuatu, japri aja).

Diterbitkan oleh wisnuwidiarta

Hi, my name is Wisnu Widiarta. I am a movie lover and love traveling especially camping and doing outdoor activities. Coding and problem solving in general are things I love as well.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d blogger menyukai ini: