Film yang disutradarai Ifa Isfansyah (Harap Tenang Ada Ujian, Garuda di Dadaku) ini menceritakan tentang kisah cinta sepasang anak manusia yang bernama Srintil dan Rasus. Srintil diperankan oleh pendatang baru Prisia Nasution sedangkan Rasus diperankan oleh Oka Antara (Perempuan Berkalung Sorban, Hari untuk Amanda).
-Penggalan cerita berikut mungkin mengurangi kenikmatan Anda menonton filmnya. Silakan lewati jika ingin mendapatkan pengalaman menonton tanpa mengetahui garis besar ceritanya-
Dari kecil Srintil suka menari dan mengagumi ronggeng (penari yang dipercaya titisan roh nenek moyang yang memiliki kharisma dan kecantikan serta kepandaian untuk menari). Di Dukuh Paruk, tempat mereka tinggal, adanya ronggeng merupakan perwujudan penghormatan terhadap nenek moyang mereka, Eyang Secamanggala. Kuburannya jadi tempat sesembahan, sebuah praktek syirik yang masih melekat di tahun 1960-an. Setelah ayah Srintil membuat banyak warga desa mati – termasuk ronggeng yang ada saat itu – dengan tempe bongkreknya yang beracun, praktis Dukuh Paruk zonder ronggeng. Kedua orang tua Srintil yang juga mati setelah memakan bongkrek di depan warga desa yang marah, membuat Srintil menjadi yatim piatu. Praktis hidupnya bersama paman dan bibinya serta berteman akrab dengan Rasus. Menginjak dewasa, Srintil semakin bertekad ingin menjadi ronggeng. Ia ingin menebus dosa kedua orangtuanya yang menyebabkan banyak orang mati dengan menjadi ronggeng. Ronggeng dianggap mewakili kesuburan dan restu dari nenek moyang serta memberi kegembiraan dan kebahagiaan bagi penghuni desa. Tidak hanya menari, seorang ronggeng juga harus mau melayani lelaki manapun yang mau membayarnya dengan harga mahal, baik emas maupun bentuk lain misal hewan ternak. Para istri lelaki itu juga mendukung suaminya untuk meniduri ronggeng sebagai lambang prestige dan jaminan kesuburan dan kemakmuran bagi suaminya. Cita-cita Srintil menjadi ronggeng menjadi bumerang terhadap kisah kasihnya dengan Rasus. Tentu saja Rasus tidak ingin kekasihnya menjadi ronggeng, yang dia katakan seperti pohon kelapa, bisa dipanjat oleh setiap lelaki yang menginginkannya. Namun tekad Srintil menjadi ronggeng begitu kuat, sehingga Rasus menjadi prioritas kedua dalam hidupnya dan hatinya terbelah dua. Ronggeng atau Rasus. Rasus yang kecewa dengan pilihan Srintil yang enggan menghapus cita-citanya menjadi ronggeng membuatnya ingin bergabung dengan tentara. Cintanya tak pernah hilang, hatinya hanya untuk Srintil. Sementara Srintil, mencintai kehidupan ronggeng dan Rasus. Hingga akhirnya datang masa ketika PKI masuk ke desa-desa, termasuk Dukuh Paruk. Srintil dan banyak penduduk desa lainnya yang hanya ikut-ikutan diciduk oleh tentara.
Apakah Rasus berhasil membebaskan Srintil? Apakah mereka akhirnya dapat hidup bersama? Silakan tonton film ini yang cukup fresh, dan tidak mencoba mengekor film-film lokal yang terjebak dalam dunia supranatural dan selangkangan. Film ini bersetting di jaman PKI di daerah Banyumas, Jawa Tengah. Penggunaan bahasa lokal yang medok oleh Oka Antara, menurut saya cukup meyakinkan. Prisia Nasution yang lebih sering menggunakan kalimat lengkap berbahasa Indonesia justru mengganggu. Porsi bahasa ngapak-ngapak Oka lebih banyak dan cekoknya lumayan meyakinkan. Prisia kadang menggunakan bahasa Indonesia lengkap, yang jarang diucapkan oleh orang Tegal maupun dari daerah Purwokerto. Bahasa Indonesia terkadang digunakan, biasanya untuk menekankan suatu kata, seperti kita menggunakan Bahasa Inggris dalam percakapan. Seandainya porsi Srintil dalam pengucapan kalimat lebih banyak menggunakan bahasa Jawa, maka akan lebih meyakinkan.
Penggunaan kendaraan dan setting perumahan dikerjakan dengan cermat dan memberikan gambaran tahun 1960-an. Ifa dan kru patut diacungi jempol untuk hal ini. Keluguan Rasus dari belum menjadi tentara hingga bertambahnya kepercayaan dirinya juga diperankan dengan baik oleh Oka. Slamet Raharjo yang memerankan dukun ronggeng juga tampil total seperti biasa. Cengkok Melayunya yang dia gunakan di film-film berbudaya Sumatra, lebur dengan logat bahasa Jawa yang cukup meyakinkan.
Bila Anda penikmat film (atau pengguna bahasa ngapak-ngapak), maka Sang Penari akan memberikan nuansa baru yang berbeda dengan film-film lokal lainnya. Jika Ifa terus mendobrak dengan film-film berkualitas seperti ini, ia akan kutulis di hatiku mendampingi Joko Anwar yang menjadi favoritku dengan Pintu Terlarangnya.
Meskipun belum membaca trilogi novel aslinya yang ditulis oleh Ahmad Tohari, namun menonton film ini cukup puas dengan skor 8/10. Mungkin salah satu rahasianya adalah Salman Aristo yang menjadi salah satu penulis skenario yang mengadaptasi novel ini. Salman Aristo yang sukses dengan Ayat-ayat Cinta dan Laskar Pelangi rupanya menjadi salah satu faktor yang membuat film ini enak dinikmati.
Priben? Wis oh ditonton filme. Apik wis dijamin. Nyong ora goroh. Oh ya, aja nggawa bocah cilik nonton film kiye.Ora pantes ditonton daning cah cilik.
Sangat tidak sabar untuk beli dvd nya, karena bioskop sudah gak nayangin film ini lagi.
SukaSuka
Wah seru mas…
SukaSuka
Nah itu dia, cuman memang agak mengherankan juga, beberapa film yang ingin saya tonton di rumah kok belum ada ya dvdnya, pertama film “?”, itu sampai sekarang saja belum saya temui di rental.
SukaSuka
Kalau gitu gimana dengan film barat?
SukaSuka
Bahkan film “?” ngalah-ngalahin film barat soal jarak antara akhir edar dibioskop dengan premiere DVDnya.
SukaSuka