Merantau (2009)


Pertama kali lihat trailer film ini di 21cineplex.com. Kaget. Edan actionnya kok gak kacangan. Hmm.. trus baca Cinemags. Baca komentar orang-orang..
Akhirnya mengkoordinir gerombolan penonton. Pas kebetulan temen kantor di kantorku sebelumnya mau dipindahkan ke Bali. Jadi aku ngusulin untuk ada farewell party. Tadinya mau minggu lalu, nonton Up. Tapi gak jadi. Akhirnya pas berbarengan turunnya Merantau, jadilah kami berlima nonton film ini. Dan walhasil aku jadi raja minyak. Thx ya Yul. You will be missed.

Ok, now talk to the movie. Merantau, diproduksi oleh PT. Merantau Films. Mungkin ini film perdana yang dibuat pt ini, jadi judulnya juga mirip. Filmnya bercerita tentang seorang pemuda bernama Yuda yang ingin melakukan ritual adat Minangkabau, yaitu Merantau. Merantau dalam adat Minang, berarti meninggalkan kampung halaman untuk mencari kekayaan, ilmu pengetahuan,
dan kemasyhuran (sumber dari sini).
Yuda diperankan oleh Iko Uwais, pendatang baru dalam dunia film, yang benar-benar jago silat.

 

Filmnya disutradarai oleh Gareth Evans, bule yang sebelumnya membuat film dokumenter tentang Pencak Silat. Akhirnya dia membuat cerita ini dan sekaligus menyutradarainya. Jadi film ini susah dikatakan film Indonesia sepenuhnya, karena cerita dan pengarahan dilakukan orang Bule.

Singkat cerita, setelah Yuda sampai di Jakarta, tidak sengaja ia melihat seorang wanita bernama Astri (diperankan Sisca Jessica), yang sedang mengalami tindakan kekerasan dari tempat ia bekerja. Nalurinya sebagai petarung langsung muncul dan ingin membelanya. Bukan terima kasih yang ia dapatkan, namun caci maki dari Astri karena setelah bossnya yang bernama Joni diberi pelajaran sopan santun ala Silat Minangkabau, Joni langsung memecat Astri. Well, welcome to Jakarta, Bro!
Secara kebetulan, Yuda kembali melihat Astri disakiti oleh Joni ketika ia sedang rindu dan menelpon Ibunya dari sebuah telepon umum. Sejak saat itulah Yuda mencoba membasmi kemungkaran yang ia lihat. Karena ototnya terbiasa digunakan, bukannya polisi yang ia telepon, tapi silatnyalah yang dikeluarkan. Kalau aku jadi Yuda, cukup telpon polisi setempat untuk melaporkan tindakan kejahatan itu. Soalnya kalau main hajar juga dia bisa kena tuntutan hukum karena dianggap main hakim sendiri. Apalagi korbannya bukan saudaranya. Yah sudahlah.. kalau Yuda pinter, maka filmnya jadi film drama. Gak ada pertarungannya sama sekali. Film akhirnya mengalir menuju pada woman trafficking kaliber internasional, dengan tokoh antagonis diperankan oleh Mads Koudal yang resumenya kelihatan dia banyak pengalaman di serial TV.

Pertarungan demi pertarungan digelar Gareth dengan cukup baik. Sangat baik kalau dibandingkan film laga Indonesia, dari jaman Barry Prima dan Advent Bangun. Masih ingat Legenda Calon Arang, Jaka Sembung, Si Buta dari Goa Hantu, dan Brama Kumbara? Koreografinya lumayan. Kalau tebakanku gak salah, koreografernya adalah salah satu bule tokoh antagonis dalam film ini, Laurent Buson.

Cerita tentang penggambaran karakter Yuda, menurut saya terlalu panjang. Coba deh bandingkan dengan flashback kehidupan di film Up di bagian awal film. Tanpa dialog, singkat, namun bermakna banyak. Editing yang dilakukan sang sutradara sepertinya kurang optimal.

Aktris kaliber FFI Christine Hakim yang berperan sebagai Ibu Yuda tampil seperti yang dibayangkan. Yang agak kaku justru kakaknya, Yayan, yang diperankan oleh Doni Alamsyah.

Overall, kalau pengen nonton untuk melihat film laga bersetting Jakarta dengan sebagian besar pemain lokal, film ini OK untuk ditonton. Sayang, sutradaranya masih bule. Hehehe.. Semoga ilmunya bisa ditularkan ke sineas Indonesia sehingga ke depannya bisa membuat film sekaliber film-film Jackie Chan, Jet Li, atau Steven Seagal.

Tips:
-Jangan nonton bawa anak kecil. Temanya woman trafficking dan banyak kata-kata sumpah serapah diucapkan Astri.
-Waktu nonton di Blitz Teraskota, sempat mati di tengah-tengah. Sampe-sampe mereka ngasih minuman mineral botol sebagai pengganti kekecewaan. Matinya bentar sih, sekitar 3 – 4 menit. Tapi annoying juga. Jadi mungkin coba nonton di XXI
-Filmnya panjang, 2 jam seperempat. Siapin minuman dan snack secukupnya.

Endingnya sendiri menurut saya lumayan klise. Tapi the hell with it. Nonton emang nyari adegan laganya kok. Hehehe..

7 skala 10, direkomendasikan buat Anda pencinta film laga, khususnya dengan setting dan pemain (sebagian besar) di Indonesia.

div.itemactions a, div.ritemactions div.addthis_toolbox a { text-decoration: none !important; border: 0 !important; -moz-box-shadow: none !important; -webkit-box-shadow: none !important; box-shadow: none !important;; padding: 0px !important; background: none !important; }

ReviewReviewReviewReview Front of The Class (2008) Aug 2, ’09 2:02 AM
for everyone

Category: Movies
Genre: Drama
Film ini aku tonton di HBO Signature semalam. Ceritanya diangkat dari kisah nyata, seorang manusia yang menderita Tourette Syndrome, sebuah kelainan yang disebabkan gangguan syaraf pada otak yang menyebabkan gerakan motoris atau suara secara berkala dari penderitanya secara tidak terkontrol. Penyebab utamanya belum bisa dipastikan, namun diduga dipengaruhi secara genetika dan faktor lingkungan.Filmnya diangkat dari buku berjudul Front of the Class: How Tourette Syndrome Made Me the Teacher I Never Had yang ditulis sendiri oleh Brad Cohen, tokoh utama yang digambarkan dalam film ini. Brad kecil digambarkan dibenci oleh ayah kandungnya dan t
eman-teman sekolah serta gurunya yang menganggap ia melakukannya agar dianggap lucu. Padahal berulang kali ia menyatakan bahwa apa yang ia lakukan tidak dapat ia kendalikan. Hingga akhirnya ibunya melakukan riset di perpustakaan dan membuktikan bahwa semua orang di sekitar Brad keliru. Akhirnya diketahui kelainan yang dialami Brad merupakan gejala Tourette Syndrome.

Pada waktu SMP, ia dikeluarkan dari sebuah kelas karena dianggap mengganggu pelajaran dan diminta pergi ke ruang kepala sekolah. Sang kepala sekolah kemudian memintanya ia mengikuti acara musik yang jelas butuh keheningan waktu musik dimainkan. Brad menolak karena khawatir kelainannya akan mengganggu acara tersebut. Tourette Syndrom yang dialami Brad membuatnya menolehkan kepala beberapa kali atau mengeluarkan suara seperti gonggongan anjing, yang bertambah parah ketika ia dalam kondisi tertekan. Namun sang kepala sekolah mendesaknya agar ia tetap hadir dalam acara itu. Benar saja, semua orang merasa terganggu dengan kelainan Brad. Sang kepala sekolah naik ke atas panggung dan meminta Brad maju ke depan. Ia bertanya mengapa ia melakukan hal yang mengganggu umum seperti itu. Brad menjelaskan mengenaik kelainannya dan TS yang ia derita. Sang kepala sekolahpun bertanya apa yang bisa mereka lakukan untuk membantu Brad. Brad menjelaskan ia ingin diperlakukan seperti orang lain. Jangan dianggap aneh atau mengganggu. Akhirnya tepuk tangan riuh rendah dari seluruh yang hadir, dan menganggap Brad tidak lagi orang aneh yang perlu dipermasalahkan. Sejak saat itu ia bertekad ingin menjadi guru yang baik yang bisa mengubah paradigma orang dengan informasi yang berguna.

Brad dewasa digambarkan tidak dekat dengan wanita dan berkali-kali ditolak dalam wawancara karena mereka tidak ingin mempekerjakan orang cacat, terutama dengan TS, untuk mengajar di sekolah. Namun ia tidak pernah berhenti menyerah. Ia tidak mau kalah oleh TS. Ia ingin menaklukan kelainannya. Ia ingin membuktikan bahwa ia bisa berbuat seperti orang lain pada umumnya.

Akhirnya ia diterima di sebuah sekolah untuk mengajar kelas 2 SD dan meraih penghargaan guru terbaik dalam salah satu penghargaan terhadap guru. Ia pun menikahi wanita yang ia cintai meski sempat khawatir kekasihnya suatu ketika akan meninggalkannya karena sindrome yang ia miliki.

Video di Youtube tentang Brad Cohen yang asli bisa dilihat di sini.

Saya sendiri pernah melihat setidaknya dua orang dengan sindrom ini di sepanjang hidup saya, dan mendapat karir yang sangat tinggi dalam pekerjaannya.

Film ini mengingatkan kita agar kita tidak dikontrol oleh kondisi kita, namun kitalah yang mengontrol kondisi kita. Janganlah pernah kita mengorbankan impian hanya karena kendala yang kita miliki. Sangat inspirasional dan patut diambil hikmahnya bagi kita yang hidup sehat.

Diterbitkan oleh wisnuwidiarta

Hi, my name is Wisnu Widiarta. I am a movie lover and love traveling especially camping and doing outdoor activities. Coding and problem solving in general are things I love as well.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d blogger menyukai ini: