Salah satu tulisan menarik tentang cinta, dan menjelaskan banyak hal liku-liku cinta yang pernah hadir dalam hidupku…
Dan menjelaskan pula mengapa aku merasa tenang, bahagia, hanya tidur memeluk istri tercinta….
Yup, cinta harus mati. Itu adalah sebuah keniscayaan.
Kalau cinta adalah rasa menggebu-gebu, keringat dingin, deg-degan, susah tidur, tai kucing rasa coklat, romantic dinner dengan lilin, berpandang2an semalaman sampai jereng, dan buket bunga mawar, maka cinta harus mati. Dan akan mati.
Tahap “infatuation”, “passionate love”, saat-saat awal manusia jatuh cinta dan tergila-gila, secara neuroscience tidak ada bedanya dengan kondisi “high on drugs”. Otak kita dibanjiri hormon-hormon yang memberi rasa senang melayang, tidak ada bedanya mungkin dengan efek narkoba. Masalahnya di artikel yang pernah gw baca, yang namanya “high” itu tidak bisa dipertahankan terus2an secara perspektif medis. Otak harus kembali ke equilibriumnya. Di buku “Happiness Hypothesis” oleh Jonathan Haidt disebutkan, saat passionate love padam, di sinilah tragedi cinta sering terjadi.
Karena kita kemudian mengira “high” itulah keadaan cinta sejati. Dan hilangnya “high” itu membuat kita mengira cinta sudah mati. Untuk selamanya. Dan kemudian kita mencari cinta baru yang bisa memberikan “high”…
Lihat pos aslinya 115 kata lagi