Minggu lalu saya diajak teman untuk menonton screening Tarian Lengger Maut dari Visinema di Plaza Senayan. Saya sangat tertarik untuk ikutan karena trailernya cukup menjanjikan.
Namun sayang sekali, film ini jauh dari ekspektasi saya. Ini alasannya.
Film Tarian Lengger Maut (Detak) disutradarai oleh Yongki Ongestu, sebagai debut pertamanya di layar lebar, setelah sebelumnya ia menyutradarai film pendek berjudul End of Black Era – The Incident. Di Wikipedia disebutkan bahwa Yongki Ongestu adalah fotografer, penulis skenario, sinematografer, dan sutradara asal Indonesia. Saya merasakan film ini cukup enak dilihat, tapi ceritanya tidak kuat dan cenderung kedodoran dari pertengahan hingga akhir.

Kisahnya bercerita tentang hilangnya banyak orang di desa Pageralas setelah dokter Jati (Reval Hady) pindah ke desa tersebut. Ada warga yang mencurigai dokter tersebut sebagai orang yang bertanggung jawab akan hal ini. Sayangnya, tidak ada upaya serius dari pihak kepolisian yang mencoba menginvestigasi hal ini.

Dari awal film diputar, sang penulis naskah tidak berusaha menyembunyikan siapa pelaku pembunuhan berantai ini. Film langsung menunjukkan adegan mengerikan seorang pasien yang dioperasi hidup-hidup untuk diambil jantungnya. Saya merasakan kengerian yang dialami pasien itu. Adegannya dibuat dengan cukup realistis sehingga menimbulkan kengerian buat yang menontonnya.
Sampai di sini, jelas bahwa dr. Jati adalah pembunuh berkedok dokter bukanlah misteri yang disembunyikan penulis ceritanya. Saya langsung membayangkan serial favorit saya, Dexter. Dexter adalah pegawai forensik khusus menangani cipretan darah dari kejadian pembunuhan untuk bisa dianalisis lebih jauh alat kejahatan maupun untuk olah TKP. Dexter menjadi vigilante dengan membunuh para kriminal yang akan lolos dari pengadilan untuk menyalurkan nafsu membunuhnya dengan melihat darah yang mengalir. Kelainan ini dia dapatkan karena ibunya dibantai ketika ia berusia 3 tahun dan seharian dia berkubang dalam darah ibunya. Polisi yang membesarkannya mengamati kesukaan Dexter membunuh hewan untuk melihat darah mengalir yang menenangkan hatinya. Ayah angkatnya mengajarinya kode etik untuknya membunuh kriminal yang akan lolos dari jerat hukum. Film ini membuat penonton simpati kepada Dexter dan berusaha dia tidak ditangkap polisi karena dia toh membunuh penjahat kejam. Artinya, kita mendapatkan gambaran jelas mengenai siapa Dexter, mengapa dia menjadi pembunuh berantai, apa kode etik yang dia pegang, trofi apa yang dia simpan dari para korbannya, bagaimana dia menyembunyikan kejahatannya dari incaran polisi, dan seterusnya.

Hal-hal yang bisa membuat penonton bersimpati pada karakter dr. Jati tidak kita dapatkan di sini. Kita hanya melihat bahwa dia dan ibunya dulu adalah korban KDRT dari ayahnya, hingga akhirnya ia jatuh cinta pada detak jantung yang berdebar-debar. Inilah trofi yang dikumpulkan Jati. Jantung korbannya yang diawetkan dan masih berdetak kencang. Premisnya sangat menarik sekali.
Adegan mutilasi yang ia lakukan pada korbannya, jelas tanpa konteks dan berkesan acak. Siapapun yang bisa dia bunuh, akan dia bantai. Tak peduli usia korbannya, kalau bisa ia panen jantungnya, ia akan sikat. Jelas karakter Jati tidak dibuat untuk mengundang simpati penonton.
Sekarang kita beralih ke karakter Sukma (Della Dartyan), sang penari lengger yang jadi primadona desa Pageralas, di mana Jati baru pindah ke sana. Pada awalnya penonton mengira bahwa penggambaran cukup rinci mengenai ritual lengger yang dilakoni Sukma akan penting di akhir cerita. Apalagi film ini berjudul Tarian Lengger Maut. Judulnya menimbulkan kesan bahwa kematian yang terjadi di film ini terkait dengan tarian lengger. Sayangnya tidak sama sekali. Film ini sempat diberi judul Detak (Heartbeat dalam poster Inggrisnya), yang sebenarnya lebih cocok untuk dipakai. Terlebih lagi hubungan antara Jati dan Sukma tidak mendapatkan porsi cukup untuk keduanya timbul kontak batin atau perasaan cinta yang mendalam, tidak sekadar tatapan nafsu Jati ketika melihat Sukma melenggak-lenggok dengan seksi.
Sebagai pembunuh berantai, Jati tidak terlihat berupaya serius menyembunyikan kejahatannya. Hannibal Lecter dan Dexter adalah contoh psikopat yang tidak ingin mudah ditangkap, agar ia bisa terus membunuh tanpa tertangkap polisi. Jati dengan cerobohnya menyimpan trofi korbannya di rumahnya di desa yang mudah dilihat banyak orang. Bahkan ia berikan foto di samping toples yang berisi jantung korbannya. Jadi teringat lagunya Christina Perri:
Who do you think you are?
Runnin’ ’round leaving scars
Collecting your jar of hearts
Di akhir kisah film ini, saya sempat menebak endingnya, dan tidak percaya kalau itu yang benar-benar terjadi. Endingnya itu hanya cocok untuk akhir dari cerpen simbolis, bukan visualisasi film thriller seperti ini. Hasilnya penonton hanya bisa mengumpat, WTF, dengan ending yang sepertinya dipaksakan dan terburu-buru ini. Apa yang dilakukan Jati tidak cukup hanya berdasarkan kedangkalan hubungannya dengan Sukma yang cuma sedalam got di kompleks perumahan.
Saya bisa katakan, kelemahan utama pada naskahnya yang berkesan menggampangkan dan tidak fokus pada genre thriller yang sangat menjanjikan untuk dikembangkan menjadi kisah yang membuat penonton bertanya-tanya akan adegan berikutnya. Dari sisi akting, Reval Hady cukup meyakinkan keluar dari comfort zone-nya membintangi film ber-genre rom com, dengan mengambil karakter sebagai pembunuh berantai di thriller ini. Della Dartyan yang sempat melakukan riset sebagai penari lengger di daerah Purwokerto / Banyumas, masih terlihat agak kaku dan kurang luwes dalam memerankan karakter penari lengger.
Beberapa adegan disajikan dalam dialog Banyumasan pada saat screening, tidak diberikan subtitle. Hal ini akan menyulitkan penonton yang tidak paham bahasa ngapak. Saya sebagai Ortega (Orang Tegal Asli) jelas tidak mengalami kesulitan berarti dalam memahami dialog-dialog tersebut.
Hal positif yang saya dapatkan dari film ini:
- sinematografinya cukup enak dilihat. Ini sepertinya memang kekuatan Yongki yang memang fotografer dan sinematografer dalam pembuatan video klip. Saya berharap Yongki akan mendapatkan naskah yang bagus untuk dia garap lagi, sehingga tidak hanya enak dilihat, tapi kisahnya juga masuk akal logika penontonnya
- aktornya enak dilihat (fresh look), dan bukan Reza lagi, Reza lagi
- mengangkat budaya lokal yang banyak generasi muda tidak tahu. Apalagi tarian lengger di film Sang Penari menimbulkan konotasi pelacuran terselubung. Film ini mengekspos tarian ini menjadi sedikit lebih netral (dari lenggokan tariannya memang menggoda nafsu lelaki, sih)
Film ini akan tayang di bioskop mulai 13 Mei 2021. Jika ingin mengetahui akhir kisahnya, jangan bawa ekspektasi terlalu tinggi ke dalam gedung bioskop.